|
Buletin La’o Hamutuk Volume 5, Number 2 Maret 2004 Issue focus: Kesenjangan Keuangan Timor Lorosa'e Daftar:
Tujuh Opsi untuk Menutup Kesenjangan Keuangan Timor Lorosa'eKesenjangan Keuangan di Timor Lorosa'e bukanlah kesenjangan, tetapi defisit anggaran selama empat tahun yang akan datang, yang sekarang diperkirakan mencapai 126,3 juta Dolar Amerika hingga penghasilan dari minyak dan gas (migas) mulai masuk pada tahun 2007. Berarti bahwa uang pemerintah tidak cukup untuk menutup semua pengeluarannya selama periode ini. Konsekuensi paling penting dan paling cepat dirasakan dari kekurangan uang ini adalah bahwa pemerintah tidak akan bisa membiayai pelayanan-pelayanan pokok, dan ini bisa menyebabkan ketidakstabilan. Mengapa ada defisit anggaran? Defisit anggaran adalah sesuatu yang cukup mengkuatirkan bagi Timor Lorosa'e, mengingat faktor-faktor berikut ini, yaitu: masyarakat internasional telah mengeluarkan banyak uang di Timor Lorosa'e sejak tahun 1999; para pakar internasional dari PBB, lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan dan lembaga-lembaga keuangan internasional yang mengelola negara ini sampai tahun 2002 dan tetap mempertahankan kehadiranmereka yang cukup berarti dengan saran-sarannya. Timor Lorosa'e dalam waktu dekat akan mempunyai akses pada sumber daya alam yang sangat menguntungkan di Laut Timor. Dua pertanyaan adalah bagaimana caranya agar negara ini bisa menjembatani defisit anggaran ini? Dan mengapa, pada saat ini, negara ini tidak bisa membiayai anggaran nasionalnya sendiri yang cukup minim? Para penyandang dana dan pemerintah Timor Lorosa'e mengidentifikasi defisit anggaran ini hampir setahun yang lalu. La'o Hamutuk melaporkan tentang masalah-masalah yang akan dialami oleh anggaran nasional di masa depan yang disebabkan masalah-masalah teknis di Ladang Minyak Bayu-Undan, pada Bulan Agustus tahun lalu (Lihat Buletin La'o Hamutuk Vol. 4, No. 3-4). Akan tetapi, penyebab utama defisit anggaran adalah karena Timor Lorosa'e tertunda menerima penghasilan dari Ladang minyak Laminaria-Corallina, yang merupakan milik Timor Lorosa'e di bawah Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Prinsip-Prinsip Hukum Kelautan. Australia telah mengumpulkan lebih dari 1 milyar Dolar Amerika dalam penghasilannya dari Laminaria-Corallina, dan jumlah tersebut cukup untuk menutup kekurangan lebih dari delapan kali defisit anggaran yang ada. Lebih lanjut, oleh karena sebagian besar penghasilan minyak untuk Timor Lorosa'e akan berasal dari satu Ladang, Bayu-Undan, maka negara ini akan tetap rentan untuk mengalami masalah-masalah penjadwalan atau produksi di ladang minyak itu.
Para perencana internasional juga bisa disalahkan. Mereka melandaskan perkiraan penghasilan jangka panjang Timor Lorosa'e pada jadwal yang direncanakan oleh ConocoPhillips. Jadwal perusahaan minyak tidak bisa dianggap sebagai jadwal tetap. Kalau pakar-pakar internasional mengerti lebih banyak tentang praktek di industri migas, mungkin pemerintah Timor Lorosa'e bisa melakukan persiapan untuk menghadapi kesulitan anggaran, dan meminta para penyandang dana untuk memperpanjang dukungan keuangan mereka tiga tahun lalu. Sejak itu, dunia ini sudah mengalami banyak perubahan, terutama peristiwa yang sangat menyedihkan yaitu tanggal 11 September 2001 dan perang selanjutnya yang dipimpin Amerika Serikat di Afghanistan dan Irak. Timor Lorosa'e semakin bukan prioritas bagi para penyandang dana, dan kesadaran tentang apa yang sedang terjadi di Timor Lorosa'e juga makin sedikit. Prioritas para penyandang dana sekarang sudah beralih ke tempat lain. Kurang lebih 3 milyar Dolar Amerika yang dikeluarkan masyarakat internasional untuk rekonstruksi Timor Lorosa'e sejak tahun 1999, tidak banyak berarti untuk ekonomi setempat. Sebagian besar uang itu tidak dihabiskan di Timor Lorosa'e, tetapi digunakan untuk membiayai PKF dan Polisi PBB. Konsultan asing, gaji untuk staf internasional, kontraktor asing dan persediaan yang dibeli dari luar Timor Lorosa'e menghabiskan jumlah terbesar dari sisa uang itu. Opsi-Opsi yang Diusulkan Dalam artikel ini, kami akan mencoba untuk menganalisa ketujuh Opsi untuk menutup kesenjangan, yang diusulkan dan didiskusikan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Tidak cukup satu opsi saja yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah ini. Tidak mungkin untuk memilih satu pilihan dan melupakan opsi yang lain; apa yang diperlukan adalah suatu kombinasi antara opsi-opsi tersebut. Usulan pertama adalah mengurangi pengeluaran pemerintah. Kalau kita mengingat bahwa biaya hidup di Timor Lorosa'e cukup tinggi, memotong pengeluaran akan berarti mengurangi jumlah pegawai negeri atau mengurangi gaji mereka; setiap tahun pemerintah mengeluarkan 27,25 juta Dolar Amerika untuk 17.150 pegawai negeri, dan rata-rata gaji bulanan mereka adalah 132 Dolar Amerika. Pengeluaran bisa dikurangi lebih banyak lagi di sektor-sektor tertentu, seperti kesehatan dan pendidikan, atau dengan mengurangi biaya transportasi. Tidak ada banyak kesempatan untuk memotong pengeluaran pemerintah tanpa berdampak secara negatif pada pelayanan-pelayanan pokok. Menjual kendaraan yang disumbangkan oleh PBB adalah ide ke-dua. Pemerintah sekarang mencoba untuk menjual 600 Tata Sumo di Timor Lorosa'e dengan harga 1.000-3.000 Dolar Amerika per/unit. Pemerintah juga ingin menjual 400 Land Rover dengan harga kira-kira 6.000 Dolar Amerika per/unit. Meskipun pemerintah memperkirakan penghasilan dari penjualan kendaraan-kendaraan tersebut akan menghasilkan 4,2 juta Dolar Amerika, akan tetapi IMF memperkirakan jumlah itu jauh lebih rendah - hanya 1 juta Dolar Amerika. Kemungkinan ke-tiga adalah para penyandang dana bisa melanjutkan atau meningkatkan dukungan keuangan mereka melalui Program Dukungan Transisi (TSP), yang dipantau oleh Bank Dunia dan telah dimulai pada tahun 2002. Pada Pertemuan Mitra PembangunanPenyandang Dana pada Bulan Desember 2003, pemerintah mendorong para penyandang dana untuk memperpanjang dukungan mereka untuk TSP, melewati jangka waktu yang pertama disetujui (2002-2005), hingga tahun 2008. Bila para penyandang dana tetap memberikan dukungan seperti sekarang (25 juta Dolar Amerika 2004-5 dan 18 juta Dolar Amerika 2005-6), ini akan mengurangi kekurangan uang sejumlah 43 juta Dolar Amerika. Pilihan ke-empat adalah untuk "meluruskan kembali" dukungan bilateral dan multilateral menurut prioritas pemerintah sebagaimana didefinisikan dalam Program Pengeluaran Sektoral/Sectoral Expenditure Program (SEP) (juga disebut Sector Investment Program (SIP)). Menurut Daftar Bantuan Luar Negeri, proyek-proyek bilateral and multilateral, baik yang berjalan sekarang maupun yang direncanakan, mencapai lebih dari 230 juta Dolar Amerika. SEP adalah perincian investasi dan pengeluaran menurut sektor. SEP mencakup pendidikan dan pelatihan; kesehatan; pertanian dan peternakan; sumber daya alam dan lingkungan hidup; telekomunikasi, tenaga listrik, transportasi; air bersih dan sanitasi, dan pengembangan di sektor swasta. Dengan melakukan koordinasi yang lebih dekat antara proyek-proyek penyandang dana bilateral dan multilateral sebagaimana digarisbesarkan dalam Rencana Pembangunan Nasional, pemerintah berharap bisa menggunakan uang penyandang dana untuk menggantikan beberapa pengeluaran yang sudah ada dalam anggaran nasional. Usulan ke-lima adalah untuk meningkatkan penghasilan dari dalam negeri, yang sekarang berjumlah kira-kira 20 juta Dolar Amerika per-tahun. Meskipun ada kemungkinan untuk melakukan ini, kemungkinan besar tidak akan berdampak besar. Pokok pajak sekarang cukup kecil dan pemerintah harus mempertimbangkan manfaat dan kelemahan dari peningkatan tarif impor dan ekspor, dengan dampaknya pada ekonomi negara. Penting untuk diingat bahwa kebanyakan orang di sini yang mendapatkan gaji yang sangat tinggi dan bisa memberikan kontribusi besar pada anggaran nasional melalui pajak pendapatan, adalah staf PBB, kontraktor PBB, konsultan, diplomat, atau staf internasional dari lembaga-lembaga internasional, tetapi mereka justru tidak diwajibkan untuk membayar pajak pendapatan. Pilihan ke-enam adalah untuk menggunakan uang minyak dari Rekening Cadangan Laut Timor, yang sekarang berjumlah10,5 juta Dolar Amerika dan dapat meningkat hingga 90 juta Dolar Amerika hingga tahun 2007. Pajak yang dihasilkan dari operasional-operasional di Laut Timor sudah dipakai sebagai bagian dari anggaran pemerintah, tetapi honorarium (uang sewa yang dibayarkan kepada Timor Lorosa'e untuk minyak dan gas yang telah diolah dan dijual) direncanakan akan disimpan untuk diberikan kepada generasi-generasi yang akan datang. Sekarang ini, tidak ada regulasi yang mengatur cadangan ini, dan uang itu disimpan dalam rekening terpisah di Otoritas Perbankan dan Pembayaran, untuk kemudian ditransfer ke Rekening Cadangan Minyak. Ada kemungkinan untuk menggunakan uang itu untuk menutup kekurangan uang ini, tetapi kalau itu terjadi akan menjadi contoh yang berbahaya, dan bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk menyimpan dan menanamkan modal hak Timor Lorosa'e atas minyak untuk beberapa waktu setelah semua minyak sudah terjual. Tanpa perlindungan hukum, masa depan jangka panjang Timor Lorosa'e bisa terbuang sia-sia hanya untuk menyelesaikan masalah jangka pendek.
Kemungkinan ke-tujuh adalah untuk meminjam uang, mungkin dari Bank Dunia atau Bank Pembangunan Asia (ADB). (Tetapi biasanya IMF yang memberikan pinjaman kepada negara-negara yang mengalami kekurangan uang sementara waktu). Semua pinjaman kepada negara-negara miskin seperti Timor Lorosa'e mempunyai syarat-syarat yang harus menjadi bagian dari rencana-rencana pembangunan, seperti Program Pengurangan Kemiskinan dari Bank Dunia (PRSP), atau Program Bantuan Kenegaraan dari ADB. Bank Dunia sudah mengatakan bahwa Timor Lorosa'e tidak akan memerlukan PRSP, karena Timor Lorosa'e sudah mempunyai Rencana Pembangunan Nasional. Akan tetapi, kalau Timor Lorosa'e meminjam, Bank Dunia akan mempunyai pengaruh jauh lebih besar pada perancangan dan pelaksanaan kebijakan untuk mencapai prioritas-prioritas sebagaimana ditentukan dalam Rencana Pembangunan Nasional. Setiap tahun pemerintah menentukan sasaran-sasaran untuk tindakan-tindakannya. Bank Dunia memantau kemajuan pemerintah dalam mencapai sasaran-sasarannya, sebagai bagian dari Program Dukungan Transisi. Meminjam uang akan memperpanjang proses ini selama masa waktu pinjaman, dan memberikan Bank Dunia peranan yang lebih besar untuk menentukan bagaimana pemerintah harus merancang dan melaksanakan anggaran nasionalnya. Kesimpulan Masyarakat internasional mempunyai tanggung jawab untuk mendukung Timor Lorosa'e dalam jangka panjang. Selama 24 tahun, masyarakat internasional memungkinkan dan memperbolehkan pendudukan kejam Indonesia _ dan negara-negara seperti Australia dan Amerika Serikat secara aktif mendukung pendudukan itu. Masyarakat internasional tidak mengutuk taktik-taktik penggertakan Australia dalam urusan Laut Timor atau sikap keras Australia tentang batas perairan. Ladang minyak Laminaria-Corallina yang merupakan milik Timor Lorosa'e menurut prinsip-prinsip internasional, mendekati akhir produksinya. Ladang ini sudah menghasilkan lebih dari satu milyar Dolar Amerika untuk keuangan nasional Australia. Uang ini milik Timor Lorosa'edan dengan uang ini bisa digunakan untuk menutup kekurangan uang dan negara kita tidak perlu mempertimbangkan untuk memotong pelayanan-pelayanan umum yang penting, atau meminjam uang dalam waktu kurang dari dua tahun setelah kemerdekaan kita. Pemutarbalikkan Fakta oleh AustraliaPada Hari Nasional Australia, para pendukung Timor Lorosa'e menghubungi Pemerintah Australia untuk menyarankannya menghormati kedaulatan Timor Lorosa'e. Australia seringkali mengulangi, menjelaskan pandangannya dan memutarbalikkan fakta. Berikut di bawah ini salah satu contohnya. Teks dari surat ini akurat dan lengkap, layout ini merupakan simulasi komputer.
Pembahasan Batas Perairan Berjalan LambanSeperti yang telah ditulis La'o Hamutuk sebelumnya (lihat, untuk contoh, Buletin LH Vol. 4, No. 3-4), mayoritas sumber minyak dan gas yang seharusnya milik Timor Lorosa'e menurut prinsip hukum internasional berada di bawah kekuasaan Australia selama Australia menunda perjanjian batas perairan permanent, dan Australia telah mengambil pendapatan pokok dari sumber-sumber minyak tersebut sejak 1999.
Pembicaraan pertama mengenai perbatasan diadakan di Darwin pada tanggal 12 Nopember 2003. Timor Lorosa'e mengajukan pertemuan bulanan hingga permasalahan perbatasan diselesaikan, tetapi Australia hanya mau bertemu setiap enam bulan, dengan alasan mereka tidak mempunyai cukup uang dan orang untuk seringkali membahas persoalan batas perairan itu. Lihat untuk melihat posisi Australia, dan tindakan mereka untuk mempertahankan posisinya. Di Bulan Desember 2003, La'o Hamutuk menyatakan pada Pertemuan Para Penyandang Dana:
Sejak pendekatan Australia yang tidak mau bekerja sama dalam pembahasan batas perairan tersebut, Pemerintah Timor Lorosa'e telah mendorong sebuah kampanye dari segala segi, seperti yang didesakkan oleh La'o Hamutuk dan lain-lainnya selama beberapa tahun. Perdana Menteri Mari Alkatiri telah memohon kepada Australia untuk menahan diri mengeksploitasi sumber daya minyak atau menandatangani kontrak-kontrak baru di wilayah yang diperselisihkan (sebuah permohonan yang diabaikan oleh Australia); pejabat dan diplomat Timor Lorosa'e telah menantang kekerasan hati Australia secara terang-terangan; Kantor Laut Timor Perdana Menteri menjangkau media dan telah membuat web site (www.timorseaoffice.gov.tp). Bersama-sama dengan aktivis solidaritas di Australia, Amerika Serikat dan seluruh dunia, La'o Hamutuk telah mendorong dan memfasilitasi kampanye internasional untuk menekan dan memalukan Australia untuk menghormati Timor Lorosa'e sebagai negara yang merdeka. Sebelum pembahasan di Bulan Nopember, lebih dari 100 organisasi dari 19 negara menulis kepada Perdana Menteri Australia John Howard, mendesak pemerintahnya untuk menentukan jadwal penentuan batas perairan dalam waktu tiga tahun, dan memperlakukan Timor Lorosa'e "dengan adil dan sebagai bangsa yang berdaulat, dengan hak yang sama seperti Australia." Pemerintah Australia menanggapi bahwa "proses [penentuan batas perairan] memerlukan waktu yang panjang dan kompleks. Berdasarkan pengalaman ini, Pemerintah Australia tidak berpikir bahwa Australia pantas untuk menentukan akhir proses ini." Australia juga "tidak berencana untuk meninjau kembali keputusan mereka di Bulan Maret 2002 yang tidak menerima lagi yurisdiksi Pengadilan Keadilan Internasional (International Court of Justice dalam Bahasa Inggris) dan mekanisme penyelesaian perselisihan lain…" Banyak masyarakat Australia berpikir sebaliknya, dan telah melaksanakan sebuah Kampanye Keadilan atas Laut Timor, pada awalnya di Melbourne. Kelompok ini menyerukan Pemerintah Australia untuk:
Australia memperingati hari nasionalnya pada tanggal 26 Januari, peringatan ke-216 pendudukan Inggris pertama di Australia. Di Timor Lorosa'e dan seluruh dunia, masyarakat mendebatkan dan mendesak dengan sungguh-sungguh kepada Canberra untuk memperlakukan Timor Lorosa'e dengan serius.
Jaringan kerja Oilwatch, sekretariat di Ekuador, mendukung usaha-usaha Timor Lorosa'e untuk mengamankan hak asasi atas sumber daya kita, sementara juga secara serentak membantu kita belajar dan semoga mencegah, "pengabaian sumber daya" yang menyebabkan kemiskinan, korupsi, penghancuran dan konflik kepada banyak bangsa-bangsa yang kaya minyak. La'o Hamutuk berpartisipasi dalam pertemuan umum dua tahunan Oilwatch di Kolombia, September tahun lalu, dan bekerja dengan Oilwatch untuk mengorganisir pertukaran program Nigeria-Timor Lorosa'e di Bulan Januari (Laporan lengkap di Buletin edisi berikutnya). Bersama-sama dengan Pusat Informasi Independen mengenai Laut Timor, kami berpartisipasi dalam pertemuan Oilwatch Asia Tenggara di Bangkok di Bulan Pebruari (Lihat laporan di bawah) dan akan melanjutkan bekerja sama dengan lebih dekat dengan jaringan kerja ini di seluruh negara-negara di Selatan, menghubungkan masyarakat di negara-negara berhutan tropis yang kaya minyak di seluruh dunia. Bayu-Undan, ladang minyak dan gas terbesar di Wilayah Pengembangan Bersama di Laut Timor, memulai produksi percobaannya di pertengahan Pebruari, meskipun ini akan memakan waktu berbulan-bulan sebelum minyak yang penting secara ekonomis dapat dijual. Beberapa bulan ke depan, La'o Hamutuk akan melanjutkan memantau kegiatan-kegiatan di Bayu Undan, juga menganalisa rencana-rencana penggunaan dan pengamanan pendapatan dari minyak yang menjadi hak Timor Lorosa'e. Industri Minyak dan Gas: Protes Masyarakat Korban Karena Tidak Sesuai Janji-JanjiDi Bulan Pebruari, Selma Hayati (La'o Hamutuk) dan Marcelino Magno (mewakili Pusat Informasi Independen tentang Laut Timor-CIITT) berpartisipasi dalam sebuah pertemuan Oilwatch Asia Tenggara, sebuah jaringan kerja kelompok masyarakat sipil yang memantau eksploitasi sumber daya alam gas dan minyak. Jaringan kerja Oilwatch yang berusia delapan tahun, bersekretariat di Ekuador dan di Timor Leste diwakili oleh La'o Hamutuk, menyatukan orang-orang dari negara-negara berhutan tropis di seluruh dunia untuk menentang konsekuensi negatif politik, lingkungan, ekonomi dan sosial. Pertemuan dan konsultasi yang diorganisir oleh organisasi Campaign for Alternative Industry Network (CAIN), Greenpeace Asia Tenggara, dan Earth Rights International (ERI) dihadiri oleh 18 organisasi non pemerintah, bertemakan Penangguhan Pembangunan Minyak dan Gas, 14-16 Pebruari 2004, di Bangkok, Thailand. Pertemuan juga dihadiri oleh wakil masyarakat Distrik Chana, Propinsi Songkhla, Rayong, Chonburi, Phetchaburi, Aliansi Masyarakat Desa Thailand-Malaysia di Thailand sebagai korban Pembangunan pipa saluran minyak Thailand-Malaysia. Pertemuan dua hari tersebut mendiskusikan beberapa isu penting dari masing-masing enam negara peserta, antara lain keterlibatan militer dalam industri minyak dan gas, Trans Pipa Saluran Gas di Wilayah ASEAN, energi alternatif, isu lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai dampak pembangunan industri minyak dan gas. Hadirnya perwakilan masyarakat korban, termasuk suku Arakan di Burma (terletak di sebelah Barat Burma, diduduki oleh Burma pada tahun 1784; Inggris, 1824; dan sekarang di bawah junta militer SLORC), mampu merefleksikan bagaimana mitos pembangunan menjanjikan kesejahteraan bagi mereka tetapi sebaliknya justru merampas hak ekonomi, sosial dan budaya mereka. Pertemuan diakhiri dengan perjalanan ke lokasi pembangunan pipa saluran gas di perbatasan Thailand-Burma di Kanchanaburi dan berjalan kaki menjelajahi hutan sejauh 3 kilometer selama hampir empat jam untuk menelusuri pipa saluran gas antara Burma-Thailand-Malaysia yang melintasi pemukiman masyarakat Chana. Berikut isu-isu penting yang sepakat untuk diperhatikan dan ditanggapi secara serius oleh jaringan kerja Oilwatch Asia Tenggara dengan dukungan Sekretariat Oilwatch Internasional: Militer sebagai Anjing Penjaga bagi Perusahaan-Minyak dan Gas Thailand, Burma, dan Indonesia merupakan negara yang secara sistematis memakai kekuatan militer untuk melindungi para pemilik modal dan negara dalam menyukseskan pembangunan industri minyak dan gas. Pembangunan proyek pipa saluran Yadana/Yetagun di Arakan, Burma dan proyek pipa saluran Wilayah Pengembangan Bersama (JDA) Thailand-Malaysia, kasus di Aceh dan Papua Barat di Indonesia memberikan bukti atas kesimpulan tersebut. Keterlibatan militer itu, antara lain dalam proses awal pembebasan tanah untuk proyek, selama proses pembangunan, dan paska pembangunan proyek dengan mengatasnamakan kesejahteraan rakyat dan keamanan nasional. Terdapat fenomena dan bentuk-bentuk keterlibatan militer yang sama di tiga negara tersebut, yaitu kekerasan melalui intimidasi, penyiksaan, penembakan, penangkapan, pelecehan seksual terhadap perempuan di wilayah pembangunan industri, pembatasan terhadap hak untuk berpindah ke wilayah lain, pemindahan secara paksa masyarakat setempat yang terkena proyek, dan dalam proses hukum yang tidak adil bagi para korban. Contoh kasus nyata yang memberikan pengalaman kepada masyarakat setempat adalah penangkapan, penyerangan, dan penembakan terhadap masyarakat Chana, Propinsi Songkhla oleh militer Thailand pada tanggal 20 Desember 2002; perkiraan penambahan anggota militer di Negara Bagian Arakan, Burma yang sekarang telah berjumlah sekitar 30.000 personil dan 54 batalion; sistem pengamanan wilayah dan modal industri pengolahan minyak dan gas milik ExxonMobil di Aceh dan industri tambang Perusahaan multinasional Freeport di Papua Barat. Dampak Negatif terhadap Lingkungan dan Sosial "...tak banyak yang tertinggal yang bisa ditangkap di Laut." Kalimat ini diucapkan oleh Horha Sansuwan, nelayan, Desa Ban Lae, 500 meter dari Pelabuhan Laut Propinsi Songkhla, Thailand. Ucapan Sansuwan tersebut menjadi saksi atas perubahan lingkungan sebagai dampak pembangunan industri minyak dan gas. Pengolahan sumur minyak lepas pantai telah turut andil dalam perubahan ekosistem pantai dan laut dan pengrusakan terhadap industri perikanan lokal. Sementara itu pembangunan industri minyak dan gas di sekitar pantai telah mengubah bentuk pantai karena abrasi (erosi karena air laut). Pengalaman masyarakat Arakan menggambarkan bahwa proses pembangunan pengeboran dan produksi platform lepas pantai telah menggunakan bahan kimia yang akan merusak kesehatan masyarakat yang tinggal di wilayah pantai. Pembangunan pipa saluran dan industri minyak dan gas di wilayah-wilayah pantai telah mengubah mata pencaharian dan mengurangi pendapatan masyarakat lokal. Hal ini terjadi pada masyarakat yang hidup di sekitar wilayah industri bebas (Free Trade Zone) di Map Ta Phut, Propinsi Rayong, Thailand yang sebelumnya mayoritas bekerja sebagai nelayan menjadi berkurang pendapatannya, sehingga mendorong generasi muda mereka bekerja sebagai buruh industri. Industri berat yang bermacam-macam jenisnya telah memperburuk kondisi kesehatan mereka selama empat tahun terakhir karena bau tak sedap dan asap telah menyebabkan sesak nafas. Dimana kesejahteraan yang digembor-gemborkan oleh Pemerintah dan pemilik modal? Berbeda dengan perubahan lingkungan di wilayah Kanchanaburi yang dilintasi oleh pipa saluran minyak dan gas bersama Thailand-Malaysia. Pengrusakan terhadap tanah dan pohon-pohon sebagai bagian dari ekosistem telah mengakibatkan gajah-gajah tak banyak lagi muncul di hutan sekitar penduduk, juga hilangnya tanaman pelindung terhadap lapisan tanah atas (soil) dan tentu saja perubahan ekosistem lainnya. Trans Pipa Saluran Gas di Wilayah ASEAN Sistem ekonomi regional di wilayah anggota-anggota ASEAN telah menuntut dibangunnya jaringan energi regional. Dalam kesepakatan yang telah disetujui oleh beberapa negara anggota ASEAN dan negara industri di Asia, yaitu Jepang, Korea, Taiwan dan China "Rencana Kegiatan ASEAN dalam Kerja Sama Energi 1999-2004" akan membangun pipa saluran sepanjang 10,000 kilometer. Pipa Saluran Trans ASEAN tersebut akan melintasi Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina. Tentu saja bisa ditebak dampak dari pembangunan pipa saluran antar negara tersebut, tak akan berbeda dengan yang terjadi pada Proyek Yadana dan Proyek Bersama Thailand-Malaysia: konflik pertanahan dan dampak lingkungan yang ditimbulkannya, baik di satu negara tertentu maupun di perbatasan antar dua atau tiga negara. Energi Alternatif Penting bagi adalah masyarakat dan Pemerintah Timor Lorosa'e harus memikirkan energi alternatif yang mampu mengurangi ketergantungan atas minyak dan gas dan menciptakan energi yang akrab terhadap lingkungan. Pengembangan energi alternatif dapat dilakukan dengan mengembangkan energi yang bisa diperbaharui dan penghematan energi. Ada kebutuhan untuk menyebarluaskan informasi mengenai alternatif energi, dan kita bisa mengambil manfaat dari penggunaan energi alternatif: biogas, pengoperasian pembangkit listrik tenaga air mini, biodiesel, ethanol dan lain-lain, serta menejemen limbah yang komprehensif. Hambatan secara umum adalah ketergantungan terhadap teknologi asing dan mahal. Kita memerlukan waktu yang lama untuk memahami pentingnya energi alternatif secara luas karena berbicara energi alternatif tidak hanya mendiskusikan sebuah kebijakan. Terus Mengorganisasir Diri: Pelajaran bagi Masyarakat Timor Lorosa'e Memang persoalan pembangunan minyak dan gas di Laut Timor berbeda dengan kasus-kasus di atas. Namun masyarakat Timor Lorosa'e dapat belajar dari pelajaran yang baik negara-negara tetangga tersebut. Perlawanan-perlawanan masyarakat lokal di Thailand, Indonesia, Malaysia, Burma dan Thailand yang membangun organisasi masyarakat basis yang kuat adalah contoh yang baik. Membangun jaringan yang kuat atas kesadaran dan kepentingan yang sama antar masyarakat akan lebih efektif mendukung masyarakat Timor Lorosa'e dalam memperjuangkan kedaulatannya atas perbatasan perairan dengan Australia. Masyarakat Timor Lorosa'e masih perlu menumbuhkan kesadaran bahwa persoalan minyak dan gas di Laut Timor adalah persoalan bersama bukan hanya persoalan organisasi non pemerintah maupun Pemerintah RDTL saja. Alisa Manlah: “Kesejahteraan? Kami Tidak Mendapatkan Apa-Apa”Wajahnya yang dibalut jilbab selalu menebarkan senyum dan kata-katanya tegas. Alisa Manlah alias Rofiah (Nama Muslim) hanyalah salah satu perempuan yang kuat dari masyarakat Chana, yang melawan pembangunan pipa saluran gas Thailand-Malaysia. Pertanggungjawaban moral sebagai muslim adalah komitmen awal yang tumbuh dari dirinya ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana toko makanan di Propinsi Rayong berfungsi ganda sebagai karaoke dan tempat prostitusi di bawah umur. Membaca, mencari informasi, mendiskusikan dampak negatif dari pipa saluran gas dan minyak yang melintasi kampungnya, dan mengorganisir diri dengan kawan-kawan sekampung dan kampung terdekatnya menjadi kegiatannya. Ancaman pembunuhan dan tercantum dalam `daftar cekal' tak menyurutkan keberaniannya. "Hukum tidak memihak kita. Militer dan polisi telah membantu perusahaan minyak. Perusahaan multinasional lebih kuat dibandingkan pemerintah kami, mereka justru mendikte pemerintah. Kami tidak mendapatkan apa-apa, dimanakah manfaatnya. Ini persoalan keadilan yang harus kami tuntut," ucapnya dengan tegas. Selama aksi protes 12 Desember 2002, kawannya sebanyak 20 orang ditangkap dalam protes keliling dan puluhan luka melawan pentungan dan tembakan 600 polisi. Proyek yang dibangun oleh Perusahaan Perminyakan Thailand dan Petronas Malaysia terus berlanjut. Warga delapan desa di Propinsi Songkhla, Thailand pun tetap melawan. Alisa dkk hidup di hutan selama dua bulan untuk menghentikan proyek. Hingga akhirnya pembangunan pipa saluran gas itu berhenti tepat di depan lokasi tenda protes masyarakat di hutan. "Pasti Pemerintah akan melanjutkan proyek itu. Kami akan tetap melawan, memperjuangkan hak-hak kami," kata Alisa. |
The Timor-Leste Institute for Development Monitoring and Analysis (La’o Hamutuk) |