Diterbitkan di surat kabar haria Suara Timor Lorosa'e Pada tanggal 30-31 Juli 2002
Oleh Adriano do Nascimento
Aktivis pemantau minyak, bekerja di NGO La’o Hamutuk
Orang bijak mengatakan bahwa apabila sekelompok orang saling cela-mencela itu bertanda bahwa ada celah diantara mereka. Mereka saling mencela karena takut jangan-jangan mereka terjerumus ke dalah celah itu. Namun, manakala celah tetap ada diantara mereka, suatu saat orang-orang yang saling mencela itu akan tercela juga, dan akhirnya mereka akan terjerumus ke dalam celah itu.
Berbicara tentang celah, naluri manusia selalu mengatakan bahwa celah itu berbahaya karena mimisahkan, ada lokasi yang hampa dan terbuka ditengal-tengah, dan celah itu harus dirahasiakan dari orang-orang awam, anak dan cucu kita supaya mereka tidak terjatuh ke dalamnya. Tetapi persoalan sekarang adalah apakah kita harus mengatakan kepada sesama dan kepada anak dan cucu kita bahwa ada celah diantara kita? ataukah kita harus merahasiakan celah itu dari mereka yang belum tahu terlebih anak dan cucu kita yang akan lahir? Jika dirahasiakan siapa yang mau menjadi volontir dan hidup untuk selamanya agar menjaga dan menghalau anak dan cucu kita dari celah itu? Siapa yang bisa?
Sambil menunggu jawaban, mari kita mengikuti alur cerita tentang celah Timor yang tercela berikut ini.
Banyak diantara kita yang sudah mengetahui apa itu Celah Timor/Timor gap tetapi ada pula sebagian dari kita yang belum mengetahui persoalan itu. Ada yang mempunyai pemahaman bahwa persoalan Timor gap adalah persoalan minyak dan gas yang akan segera mendatangkan triliunan dolar bagi Timor Lorosa’e. Ada yang mempunyai pemahaman bahwa persoalan Timor gap itu bukan persoalan uang dari minyak dan gas saja tetapi masalah Timor gap adalah masalah kedaulatan negara RDTL untuk memproteksi harga diri bangsa yang dibeli dengan jiwa dan raga para putra terbaik Timor Lorosa’e serta untuk memproteksi hak bangsa atas kekayaan itu. Ada juga yang mempunyai pemahaman bahwa persoalan Timor gap adalah persoalan proses negosiasi. Perbedaan pemahaman itulah sebenarnya celah kita dan membuat kita cela-mencela dalam celah.
Karena pemahaman yang beranekaragam ini pulalah, akhir-akhir ini Persoalan Timor Gap atau Celah Timor menjadi Topik hangat yang diperdebatkan di Media masa, obrolan masyaraka di sawah, ladang dan pasar. Karena hangatnya topik ini diperdebatkan di publik maka banyak pula orang yang mencela proses penanganan Celah Timor yang dilakukan oleh pemerintah Australia dan Timor Lorosa’e. Juga sebaliknya banyak pula orang yang dicela karena mengangkat persoalah Celah Timor ke publik.
Menyimak suara-suara lantang kumpulan wakil rakyat yang keluar dari gedung putih itu, sepertinya mereka saling mencela, serang-menyerang dan tuduh-menyuduh satu sama lain. Lebih terusik lagi ada juga suara-suara lenting dari wakil rakyat baik yang ada di pemerinah maupun di rumah rakyat itu sudah mengarah pada pembenaran diri dengan deklarasi popularitas bahwa dialah orang yang paling banyak berkata dan berkarya di negeri ini atau dengan bahasa indijius/bahasa rakyat disebut “komesa sura nia kole”.
Dilihat dari perspektif celah yang tercela, kata dan karya mereka ini nampaknya betul-betul memperdalam “celah yang sudah tercela itu”. Tetapi kata orang pintar dalam konteks demokrasi hal ini wajar-wajar saja karena mereka dipilih oleh rakyat dan sedang bekerja untuk negara Republik Demokrat Timor Lorosa’e, terlepas dari kadar kepedulian terhadap masyarakat dan bangsa.
Namun sebagai rakyat yang sedang mendengar cela-mencela tentang celah Timor itu, dalam sanubarinya timbul pertanyaan mengapa para wakil rakyat yang duduk di institusi pemerintah dan parlemen itu harus mencela sesama dan akhirnya dicela, saling serang-menyerang dan tuduh- menuduh, Bukannya menyusun kekuatan moral dan politik untuk mengimbangi gelombang strategi politik super power yang dihembus oleh Australia dan perusahaan multi nasional dari Timor Gap. Mungkin hal yang perlu dipertanyakan adalah apa sih substansi permasalahan celah Timor/Timor gap itu sehingga membuat para wakil rakyat harus terombang ambing bagaikan terkena amukan gelombang samudara dari Celah Timor.
Untuk itu, adalah hal yang paling bijak jika kita bergandeng tangan, menuntun naluri dan kalbu kita untuk menelusuri dari mana alur goncangan yang mengobrak-abrik mandat rakyat yang diembang oleh wakil rakyat dan celah-celah dari celaan yang semakin tercela itu.
Menurut cerita kakekku yang juga diceritakan oleh temanku yang nun jauh di sana bahwa sekitar tahun 1960an, Australia, Indonesia dan Timor Portugis mulai melakukan negosiasi tri parti mengenai batas perairan laut. Negosiasi itu bertujuan untuk menentukan batas perairan laut dan zona ekonomi eksklusif di laut Timor antara ketiga negara itu. Kata kakek dan temanku, landasan hukum yang digunakan untuk menentukan batas perairan laut pada saat itu adalah Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1958, yang mana menyatakan bahwa batas perairan laut antara negara ditentukan dengan landas kontinental di dasar laut.
Berpijak pada Konvensi Hukum Laut PBB, Australia mulai mempresentasikan hasil studi geologisnya yang disebut “karya intelektual” dengan mengklaim bahwa ujung dari benua Australia berakhir di dekat pulau Timor, sekitar 150 km dari Timor Lorosa’e. Dengan argumen itu, Australia menghendaki garis batas negara harus ditarik dari ujung pertemuan dua benua, Australia dan Asia. Namun Portugal sebagai penguasa atas Timor Lorosa’e tidak menerima alasan geologis yang dibangun oleh Australia dengan mengklaim wilayah perairan sampai mendekati pulau Timor.
Tetapi kata kakek dan temanku, Portugal tidak setuju dengan gagasan Australia ini karena ada juga analisis geologis yang mengatakan bahwa ujung benua Asia berakhir di daratan Australia sekitar daerah Darwin. Alasan geologis yang dibangun adalah di daratan itu juga terdapat jenis batu-batuan yang sama seperti di benua Asia.
Karena alasan itu pula, maka akhirnya Portugal menyatakan keluar dari negosiasi tri parti dan tidak menerima kesepakatan apapun tentang batas perairan laut di laut Timor. Namun, Walaupun Portugal keluar dari negosiasi itu, Australia dan Indonesia tetap melanjutkan negosiasi mereka. Akhirnya pada tahun 1972, kedua negara berhasil mencapai satu kesepakatan yang disebut “Pakta 1972” tentang batas perairan laut dengan masih tetap menggunakan landas kontinental.
Lebih lanjut kakek dan temanku mengatakan bahwa karena Portugal tidak terlibat dalam kesepakatan tahun 1972 yang dibuat oleh Australia dan Indonesia, maka wilayah perairan antara Australia dan Timor Portugis ditinggalkan tanpa batas dan selanjutnya wilayah perairan itu disebut “Celah Timor atau Timor Gap”.
Cerita punya cerita kawanku yang datang dari seberang lautan untuk menyaksikan kemerdekaan Timor Lorosa’e dan juga menjadi tamuku, tiba-tiba memberikan satu pertanyaan dengan mengatakan, mengapa masyarakat Timor Lorosa’e yang gagah dan brani yang baru saja mengusir Indonesia, sudah saling menuduh, saling mencela dan saling merendahkan? Ini namanya Celah dan sudah tercela, kata dia.
Lebih lanjut dia mengatakan, bagaimana anda menyelesaikan persoalan celah yang ada di laut Timor, jika anda membuat celah di daratan ini. Mari kita melihat siapa yang mendorong kalian untuk membuat celah di daratan ini. Coba lihat siapa yang ada di laut itu? Tak tersangka, tiba-tiba secara spontan adik bungsuku menjawabnya, mister, Hello mister yang selalu memberikan gula-gula, aqua dan buah-buahan kepada kami. Saya lihat dia di laut sana tapi saya tidak suka mister itu karena saya yang kecil ini tidak bisa mendapat gula-gula, aqua dan apel yang dilemparkan dari treknya. Hanya orang-orang besar yang dapat barang yang diberikan mister itu, lagi pula gula-gula yang saya dapat dirampas oleh mereka. Saya tidak suka, saya tidak suka dan saya tidak suka......?
Melihat kejadian ini, tentu saya merasa malu karena adikku menginterupsi pembicaraan saya dan tamuku. Lalu saya bertanya kepadanya, kamu tidak suka siapa sayang? Dengan lugu si bungsu menjawab, “saya tidak suka om-om yang merampas gula-gulaku kemarin, saya tidak suka mister yang dilaut itu karena dia tidak memberikan kepada saya tapi dia membuang dan suruh kami merampas, saya tidak suka dan saya tidak suka”.
Setelah mendengar pengakuan adikku itu, teman saya mulai mengambil kesimpulan dengan mengatakan ini persoalan yang serius. Karenanya kita harus mencari sebab-musababnya. Dalam persoalan Celah Timor, apa kepentingan Australia dan mengapa orang Timor Lorosa’e saling tuduh-menuduh,cela-mencela dan saling merendahkan.
Jika menganalisa sejarah Timor Gap dalam konteks batas perairan laut dan kekayaan minyak dan gas, nampaknya Australia sedang mengupayakan satu strategi untuk menciptakan landasan hukum bagi dirinya dengan melibatkan Timor Lorsa’e. Ada beberapa faktor yang membuat Australia terguncang dalam persoalan Timor Gap. Pertama, Timor Lorosa’e telah menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat dan diakui oleh masyarakat Internasional termasuk Australia. Karena sudah menjadi negara yang merdeka dan berdaulat itu, Timor Lorosa’e memiliki hak penuh atas wilayah darat, laut dan udara berserta kekayaan yang terkandung di dalamnya sesuai dengan mandat prinsip-prinsip hukum nasional dan internasional. Kedua sejarah mencatat bahwa Timor Lorosa’e dibawah pemerintahan Portugis tidak pernah menerima garis batas perairan yang disepakati oleh Indonesia dan Australia pada tahun 1972. Sudah barang tentu keputusan politik ini menjadi satu catatan sejarah yang penting bagi TLS dalam menarik garis batas perairan untuk menutup Timor gap. Ketiga, diberlakukannya Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 yang menjadi instrumen hukum terbaru untuk menyelesaikan persoalan klaim yang tumpah tindih atas batas perairan antara negara.
Jika Timor Lorosa’e yang merdeka dan berdaulat ini menggunakan catatan sejarah yang ditinggalkan oleh Portugis dan berbicara di atas podium Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dan hukum nasionalnya untuk menentukan batas perairan di Timor gap, maka Australia akan merasa kewalahan dalam mempertahankan; 1].Pakta/kesepakatan tahun 1972 tentang batas perairan yang menggunakan landas kontinental dengan Indonesia, 2]. keberadaan Australia dalam Kesepakatan tahun 1989 yang dibuat dengan Indonesia untuk mengeksplorasi minyak dan gas bersama di Timor gap, dan 3]. ambisi ekonomi untuk meraih kesempatan kerja, investasi, pendapatan negara dan renovasi teknologi.
Setelah Konvensi Hukum laut PBB dideklarasikan pada tahun 1982, Australia juga terkena dampak kebijakan hukum laut mundial itu. Hal itu dapat terlihat dengan perubahan kebijakan Australia terhadap Pakta 1972. Australia dan Indoensia mulai melakukan negosiasi baru tentang batas perairan di laut Timor. Akhir dari renegosiasi itu, Australia dan Indonesia menghasilkan satu kesepakatan pada tahun 1997. Dalam kesepakatan itu, Australia menyetujui batas diatas permukaan air laut, yang ditarik berdasarkan hukum laut internasional yakni dengan menggunakan mediun line atau garis tengah.
Karena perubahan batas ini, Indonesia memiliki hak untuk menangkap ikan sampai pada garis tengah. Sementara itu batas di dasar laut ditarik berdasarkan landas kontinental. Ini artinya Indonesia tidak memiliki hak untuk mengolah kekayaan seperti minyak dan gas di dasar laut. Logikanya adalah Indonesia memiliki hak atas air laut berserta ikan-ikannya dan Australia berhak atas tanah berserta kekayaan yang ada di dalamnya.
Persoalan Timor gap bagi Australia merupakan satu dilema. Alasannya adalah Pertama, Jika Australia mempertahan posisinya dengan tetap menggunakan landas kontinental untuk menutup gap dengan Timor Lorosa’e maka Australia sudah tidak bersahabat lagi dengan Timor Lororsa’e. Kedua,Australia juga tidak lagi menunjukan peradaban mereka bahwa Australia sangat menjunjung tinggi norma-norma internasional yang mengikat komunitas dunia dan hak asasi manusia. Ketiga, Konvensi Hukum Laut PBB yang terbaru sudah dicetuskan, Australia sudah mengimplementasikannya dengan Indonesia, lalu mengapa Australia tidak merefleksi keputusannya dengan Indonesia. Keempat, jika Australia menarik garis batas dengan menggunakan mediun line baik di atas permukaan air laut maupun di dasar laut di celah Timor, Australia kwatir akan tuntutan Indonesia untuk persamaan batas dasar lautnya dengan batas diatas permukaan air. Australia sangat kwatir dengan kekayaan minyak dan gas alam yang dikuasainya selama ini jatuh kembali ke tangan Indonesia karena perubahan perbatasan. Karena itu Australia harus mempertahankan diri dengan batas landas kontinentalnya.
Australia merupakan satu-satunya negara yang mengakui pemcaplokan Indonesia atas Timor Lorosa’e. Pada tahun 1975, Australia dibawah kepemimpinan.....menyatakan dukungannya terhadap invasi indoensia. Pada tahun yang sama, duta besar Australia untuk Indonesia, Richard Woolcott dalam memo rahasianya mengatakan kepada Indonesia bahwa”menutup celah yang ada sekarang dalam batas laut yang disepakati, dapat lebih mudah dirundingkan dengan Indonesia dibandingkan Portugal atau Timor Portugis yang merdeka”.
Maka dengan penuh keyakinan, pada tahun 1979 Australia memulai negosiasi dengan Indonesia atas celah Timor, namun mereka tidak mencapai kesepakatan atas batas perairan yang permanen. Selanjutnya kedua negara hanya sepakat membuat perjanjian untuk mengeksplorasi minyak dan gas bersama. Akhirnya pada tahun 1989 menteri luar negeri Australia, Gerents Even dan menteri luar negeri Indonesia, Ali Alatas menandatangani dokumen perjanjian dalam sebuah pesawat di atas perairan celah Timor. Kemudian mengkontrak perusahaan perminyakan pada tahun 1991, selanjutnya pada tahun 1992 aktivitas eksplorasi mulai dilakukan.
Bagi Masyarakat Timor Lorosa’e dan masyarakat internasional kesepakatan yang dibuat oleh mereka adalah ilegal. PBB dan masyarakat Timor Lorsa’e tidak pernah mengakui kesepakatan ini, walaupun demikian kegiatan eksplorasi dan pembagian uang antara Australia dan Indonesia tetap saja berjalan hingga akhir tahun 1999.
Ketika Timor Lorosa’e menyatakan kemerdekaannya melalui referendum pada tahun 1999, Australia mulai menggerakkan tri kekuatannya yakni politik, ekonomi dan teknologi. Tri kekuatan ini kemudian disatukan dalam jurus-jurus strategis mautnya dengan;
menyatakan siap untuk untuk mengirim pasukannya ke Timor Lorosa’e,
menendang Indonesia keluar dari arena eksplorasi bersama minyak dan gas di Timor gap
memberikan bantuan kemanusiaan kepada Timor Lorosa’e yang tidak tanguh-tanguh, yang mana sekarang sudah mencapi ..........juta dolar,
membujuk pemerintah trasisi PBB dibawah pimpinan Sergio de Mello untuk menggantikan kursi ilegal yang dicopotnya dari Indonesia.
Semua ini dilakukan dengan tujuan untuk memfasilitasi kerangka legal agar mengikat Timor Lorosa’e secara hukum. Bujukan Australia itu disambut dengan baik oleh PBB, sebagai jawabannya UNTAET melakukan negosiasi atas nama negara Timor Lorosa’e. Hasil dari negosiasi itu adalah membuat tiga kerangka legal bagi persoalan Celah Timor melalui politik;
Exchage Notes/Pertukaran Nota dimana Timor Lorosa’e menempati posisi ilegal yang diduduki oleh Indoensia dalam Pakta ilegal yang dibuat oleh Australia dan Indonesia pada tahun 1989.
Rancangan Perjanjian bulan Juli 2001 yang ditanda tangani oleh menteri luar negeri Australia, Alexander Downer dan Menteri ekonomi UNTAET Mari Alkatiri.
Pakta tentang eksplorasi minyak dan gas bersama yang ditandatangani oleh Ketua Menteri, Mari Amudin Bin Alkatiri dan Perdana Menteri Australia John Howard pada tanggal 20 Mei 2002, saat Timor Lorosa’e menerima kekuasaan dari PBB/UNTAET.
Bagi Australia Celah Timor/Timor Gap adalah kesempatan ekonomi yang harus diraih dengan menggerakkan kekuatan politik, ekonomi dan teknologinya. Untuk merealisir harapannya, Australia sangat mengharapkan minyak dan gas dari Celah Timor diproses di daratan Australia. Darwin adalah salah satu tempat yang diharapkan untuk dijadikan pusat pengolahan minyak dan gas dari Celah Timor.
Pemerintah Darwin, dibawah kepemimpinan Clare Martin bahkan telah memiliki keyakinan yang kuat bahwa jika gas dari Bayu-Undan dan Sunrise di bawa ke daratan Darwin akan mendiversifikasi ekonomi negara Australia terlebih Northern Territory. Untuk lebih menyakinkan rakyat Australia terlebih Darwin, pemerintah Australia melalui Clare Martin telah melakukan studi statistik ekonomi dengan memprediksikan bahwa gas dari Bayu-Undan dan Sunrise dibawa ke Darwin akan:
Menciptakan lapangan kerja sebanyak 10.600 pekerjaan full time
Menambah pendapatan negara sebesar US$ 15 miliar sepanjang proyek
Mendatangkan pendapatan negara US$ 110 juta per tahun yang mana US$ 100 juta untuk pemerintah pusat dan US$ 10 juta dikumpulkan oleh pemerintah Darwin.
Selain dari keempat hal di atas, gas dari Bayu-Undan dan Sunrise juga diprediksikan akan mendatangkan; kesempatan investasi, pelatihan baru, mengurangi ketergantungan pemerintah Darwin pada pemerintah pusat dan menjamin Darwin untuk membiayai diri sendiri seperti pembiayaan kebijakan sosial dan pengembangan program.
Jika kita mengkaji alur cerita di atas, nampaknya kepentingan Timor Lorosa’e adalah; sebuah Pengakuan internasional terhadap kemerdekaan dan kedaulatan negara Timor Lorosa’e atas darat, laut dan udara terlebih menutup celah atau gap yang ada di laut Timor, sebuah Pengakuan internasional atas hak negara Timor Lorosa’e untuk memproteksi dan mengolah kekayaan alamnya termasuk yang ada di laut Timor, suatu keadilan dalam penyelesaian persoalan perbatasan perairan dan zona ekonomi eksklusif yang berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional.
Andaikata kita semua setuju bahwa ketiga hal diatas adalah substansi persoalan celah Timor dalam perpektif negara Republik Demokrat Timor Lorosa’e, lalu bagaimana kita memberikan jawaban pada adikku yang tidak suka sama orang-orang yang merampas gula-gula dari tangannya? Bagaimana kita memberikan jawaban kepada adikku yang tidak suka sama mister yang dia lihat di laut, karena mister tidak memberikan gula-gula kepadanya tetapi membuangnya dari atas trek untuk saling merampasnya?
Mari, mari dan mari kita merefleksi diri agar memberikan jawaban atas pertanyaan anak-anak kita demi Kebenaran, Cinta kasih, Keadilan dan perdamaian mereka di dalam bangsa yang dibangunnya dengan jiwa dan raga, harga diri dan kekayaan para pahlawan kita. SEMOGA !!!!